Imparsial : Pernyataan Kababinkum TNI Keliru Sikapi Kasus Mayor Dedi Hasibuan di Polrestabes Medan

Gufron Mabruri, Direktur Imparsial
BUKAMATA.CO, JAKARTA - Gufron Mabruri, Direktur Imparsial mengatakan bahwa Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda (Laksda) Kresno Buntoro telah keliru yang menyatakan bahwa TNI memiliki kewenangan untuk memberikan bantuan hukum kepada keluarga prajurit. Karena kata Gufron, prajurit TNI tidak boleh menjadi penasihat hukum dalam lingkup peradilan umum.
Hal itu disampaikan Gufron menyikapi keterangan Kababinkum TNI terkait kasus Mayor Dedi Hasibuan di Polrestabes Medan.
Dimana sebelumnya pada, Kamis, 10, Agustus, 2023, Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda (Laksda) Kresno Buntoro beserta jajaran telah menyelenggarakan konferensi pers terkait kasus Mayor Dedi Hasibuan yang mengeruduk Polrestabes Medan Sumatera Utara.
Dalam konferensi pers tersebut Kresno Buntoro menyampaikan bahwa TNI memiliki kewenangan untuk memberikan bantuan hukum kepada keluarga prajurit.
"Kami memandang, pernyataan Kababinkum TNI yang menyatakan anggota TNI dapat memberi bantuan hukum bagi prajurit TNI dan keluarga menunjukkan bahwa Kababinkum tidak memahami secara komprehensif aturan hukum terkait peran TNI dalam proses penegakan hukum " kata Gufron kepada bukamata.co, Sabtu. (12/8/2023) di Jakarta.
Hal itu ujar Gufron dapat dilihat dari adanya pemahaman yang salah dan keliru terhadap beberapa aturan terkait bantuan hukum.
Ujar Gfron lagi, memang benar bahwa setiap orang tanpa terkecuali prajurit TNI dan keluarga prajurit TNI berhak mendapatkan bantuan hukum.
Karena lanjut Gufron, hak atas bantuan hukum merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Bahkan kata dia lagi, hal itu dinyatakan dalam Pasal 7 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menjamin persamaan kedudukan di muka hukum. Selanjutnya diatur pula di dalam Pasal 16 dan Pasal 26 International Covenant on Civil and Political Rights (Konvensi Hak Sipil dan Politik) yang pada intinya menjamin bahwa semua orang berhak atas perlindungan dari hukum.
Selain merupakan hak asasi manusia terang Gufron, bantuan hukum juga merupakan amanat Pasal 27 UUD NRI 1945.
Untuk melaksanakan amanat konstitusi tersebut jelas Gufron, pengaturan tentang bantuan hukum bagi masyarakat secara umum diatur Kembali dalam Pasal 69 KUHAP, Pasal 56 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 UU 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang pada intinya setiap orang tanpa terkecuali berhak mendapatkan bantuan hukum.
Namun demikian lanjut Gufron, secara khusus bagi lingkungan TNI, jaminan bantuan hukum kembali ditegaskan dalam pasal Pasal 105, 215 dan 216 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang pada intinya adanya jaminan bantuan hukum bagi tersangka yang diadili di peradilan militer maupun koneksitas.
Jaminan tersebut juga kembali ditegaskan UU TNI dalam Pasal 50 ayat (2) huruf f yang menyatakan “prajurit dan prajurit siswa mendapatkan rawatan dan layanan kedinasan meliputi.. (f). bantuan hukum”. Selanjutnya Pasal 50 ayat 3 “keluarga prajurit memperoleh layanan kedinasan meliputi.. (c). bantuan hukum”.
"Kami memandang, keseluruhan pasal yang disebutkan di atas harus dipahami sebagai adanya jaminan negara kepada siapapun termasuk prajurit TNI dan keluarga prajurit TNI untuk memperoleh bantuan hukum " ujar Gufron.
Pasal-pasal tersebut menurut Gufron jika dicermati tidak ada yang menyebutkan adanya pemberian kewenangan kepada prajurit TNI untuk dapat memberikan pendampingan/ bantuan hukum dalam lingkup (yurusdiksi) peradilan selain peradilan militer dan peradilan koneksitas.
Hal itu lanjut Gufron, harus digaris bawahi oleh Kababinkum mengingat keterangan yang disampaikan oleh Laksda TNI Kresno Buntoro terkait dengan kasus Mayor Dedi Hasibuan yang mengaku sebagai pendamping hukum keluarganya di Polrestabes Medan, Sumatera Utara.
Diterang Gufron, hak untuk menerima bantuan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) UU TNI tidak boleh ditafsirkan bahwa bantuan hukum tersebut harus atau bisa berasal dari institusi TNI.
Terlebih bila lingkup (yurisdiksi) peradilan yang memproses kasus hukum tersebut bukan peradilan militer atau peradilan koneksitas.
Menurut Gufron, dalam kasus keluarga Mayor Dedi Hasibuan yang tunduk pada peradilan umum, hak untuk memperoleh bantuan hukum tersebut harus tunduk pada UU Advokat No. 18 tahun 2003.
Selain itu tambah Gufron, dasar hukum yang disebutkan oleh Kababinkum terkait kewenangan pemberian bantuan hukum oleh TNI yang didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1971 juga salah dan keliru.
Karena SEMA No. 2 Tahun 1971 sebenarnya melarang prajurit TNI menjadi penasihat hukum di Pengadilan Umum, kecuali atas izin khusus dari atasannya dan memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun 1952 yang sejatinya telah berulang kali dicabut.
"PP No. 12 tahun 1952 telah dicabut melalui PP No. 6 tahun 74, yang juga telah dicabut melaui PP No. 53 tahun 2010, yang juga telah dicabut melalui PP No. 94 tahun 2021 " urai Gufron.
Dimana lanjut Gufron, dalam PP No. 94 tahun 2021 tidak ada lagi pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 2 tahun 1971.
Atas dasar itu tegas Gufron,, sesungguhnya argumentasi Kababinkum yang bersandar pada pada SEMA No. 2 tahun 1971 sudah kehilangan pijakan hukumnya.
Lebih dari itu, aturan hukum tentang pemberian bantuan hukum, yang salah satunya diatur melalui SEMA No. 2 tahun 1971 sudah disempurnakan melalui berbagai aturan perundang-undangan salah satunya adalah UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan pemberi bantuan hukum/ pendamping hukum atau advokat tidak boleh berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara.
Sementara dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam Pasal 92 ayat (3), “semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat”.
Oleh karena itu ungkap Gufron, merujuk pada UU Advokat sebenarnya prajurit TNI aktif tidak dapat menjadi pendamping hukum atau advokat.
Menurut Gufron, kerancuan hukum tersebut di atas diperparah oleh keengganan pemerintah yang belum juga merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menciptakan silang sengkarut penegakan hukum di Indonesia.
"Presiden memerintahkan Panglima TNI untuk mengevaluasi Kababinkum TNI yang telah salah dan keliru menafsirkan aturan perundang-undangan sehingga menimbulkan polemik hukum dan dikhawatirkan membenarkan perilaku Prajurit TNI untuk menjadi penasihat hukum di peradilan umum " tegas Gufron.
Panglima TNI juga kata Gufron harus melarang anggota TNI untuk bertindak sebagai advokat di peradilan umum dan jika terjadi pelanggaran atau penyimpangan peran TNI harus ditindak sesuai aturan hukum yang berlaku.
"Presiden Joko Widodo, segera merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer, yang telah menyebabkan disharmoni dan kontradisksi norma dan penegakan hukum di Indonesia, sebagaimana yang telah dijanjikan dalam Nawacita Presiden sejak tahun 2014 " tukas Gufron.
Komentar Via Facebook :