PSI Dinilai Cuma Komprador Jokowi Ajukan Gugatan Ambang Batas Usia Capres-Cawapres di MK

PSI Dinilai Cuma Komprador Jokowi Ajukan Gugatan Ambang Batas Usia Capres-Cawapres di MK

Presiden Joko Widodo

BUKAMATA.CO, JAKARTA - Julius Ibrani, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menilai bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) sudah seperti Mahkamah Keluarga bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pasalnya Anwar Usman, Ketua MK saat ini adalah adik ipar sang presiden.  

Hal itu disampaikan Julius menyikapi uji perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dedek Prayudi, dkk., terkait Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Menurut Julius, uji materi tersebut seperti koalisi antara Jokowi dengan Anwar Usman sang adik ipar demi mengangkat putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada Pemilu 2024 nanti.

”Mahkamah Konstitusi tengah menguji perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dedek Prayudi, dkk., terkait Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan tujuan untuk menurunkan ambang batas usia capres-cawapres, dengan dalih moralitas dan rasionalitas serta diskriminasi " ungkap Julius dalam keterangan tertulisnya kepada bukamata.co Minggu (20/8/2023) di Jakarta.

Permohonan tersebut kata Julius tentu menimbulkan banyak pertanyaan, karena PSI tidak dapat mengajukan capres-cawapres, dan juga ujarnya lagi, kader PSI tidak ada satupun yang dapat menjadi capres atau cawapres.

Menurut Julius, hal itu seperti mengkooptasi Mahkamah Konstitusi alias Mesin Rekayasa legislasi Presiden Jokowi.

Dan kata dia lagi, menebak nasib perkara di MK belakangan ini hanya berujung pada dua kesimpulan, tanpa perlu menggali dari informan.

Dikatakan Julius, jika terkait hak asasi maka berdalih Open Legal Policy, kemudian jika terkait kepentingan politik maka sarat akan kejanggalan.

Sebut saja ungkap Julius, proses pelemahan KPK dan transformasi KPK menjadi alat politik Presiden Jokowi, melalui Putusan MK yang menempatkan KPK sebagai Lembaga eksekutif di bawah kekuasaan Presiden.

Hal itu sesuai Permohonan 79/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019, 59/PUU-XVII/2019, 62/PUU-XVII/ 2019, 71/PUU-XVII/2019, 73/PUU-XVII/2019, dan 77/PUU-XVII/2019).

Kemudian dilanjutkan dengan perubahan syarat usia minimal Komisioner KPK dari 50 tahun ke 40 tahun, pada Pasal 29 Huruf e UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK).

"Berbasis pertimbangan soal frasa "atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK" yang tidak pernah ada pada seleksi pimpinan lembaga negara dan tidak ada juga di dalam Konstitusi, UUD 1945 maupun UU KPK " ujarnya. Ditegaskan Julius, Mahkamah Konstitusi jelas telah dikooptasi oleh Presiden Jokowi.

"Menegaskan kesimpulan ini juga tidak dapat dilepaskan dari kedekatan personal Presiden Jokowi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi yang merupakan adik iparnya sendiri meski melanggar Pasal 17 ayat (4) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; dan Penerapan Prinsip Ketidakberpihakan dalam Peraturan MK Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi " ujarnya.

Ditambah sebelumnya lanjut Julius, Hakim MK diberikan penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana oleh Presiden Jokowi.

Menurut Julius, apa yang terjadi saat ini seperti masalah laten hak politik atau diskriminasi hak asasi rakyat, bukan perlakuan khusus anak Presiden Jokowi

"Bicara soal diskriminasi atas hak politik warga negara sejatinya bicara soal peng-kebirian hak dipilih melalui threshold, baik parliamentary maupun presidential threshold, yang juga menggunakan tangan kotor Mahkamah Konstitusi " kata Julius.

Pengujian tersebut menurut Julius, berujung pada kesimpulan bahwa ambang batas suara sebagai syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah konstitusional.

Dampaknya ujar Julius, tidak ada seorang warga negara pun yang punya hak dipilih untuk dapat mencalonkan diri di Pemilu sebagai wakil rakyat (DPR) atau Presiden tanpa melalui Partai Politik.

Tidak hanya itu tambah Julius, lagi, justru memaksa Partai Politik untuk ber-kongkalikong suara hingga transaksi money politic yang menyandera Presiden dengan proyek sebagai “balas jasa” politik.

"Gugatan ambang batas usia yang diajukan PSI ke MK tidak dapat dilepaskan pada 2 fakta, pertama, PSI adalah partai komprador Presiden Jokowi, kedua, posisi pencalonan Gibran Rakabuming sebagai Cawapres, yang tidak lain adalah putra kandung Presiden Jokowi. Fakta ini membawa presumsi bahwa permintaan penurunan batas usia capres-cawapres pada Gugatan PSI, adalah untuk memuluskan jalan Gibran yang digadang-gadang menjadi Cawapres Prabowo Subianto " beber Julius.

Padahal kata Julius, hanya bermodal propaganda melalui survei yang melampaui Cawapres yang ada seperti Erick Thohir, Muhaimin Iskandar, bahkan Airlangga Hartarto dan jabatan incumbent sebagai Walikota Solo.

Menurut Julius, pihaknya tidak melihat adanya persoalan diskriminasi hak politik dalam gugatan PSI, yang jelas ujarnya lagi, justru perlakuan khusus melalui rekayasa legislasi.

Untuk itu tegas Julius, kekhawatiran akan bait akhir putusan hakim harus patuh konstitusi, bukan kepentingan Presiden Jokowi

Julius menilai agaknya, mustahil berharap MK tidak dimaknai sebagai Mahkamah Keluarga ketika perkara yang isinya berelasi kuat dengan anak kandung Presiden Jokowi yakni Gibran, yang diajukan oleh komprador Presiden Jokowi kepada lembaga dengan salah satu Hakimnya adalah adik ipar Jokowi.

"Nyaris tidak mungkin tidak ada cawe-cawe. It’s all about, and it’s on Presiden Jokowi. Wajar jika publik khawatir akan bait akhir putusan MK akan mutlak dikabulkan sepenuhnya, seperti didikte " ujarnya.

Hal itu kata Julius, jika mengingat, pen-dikte-an MK juga terlihat jelas dari preseden buruk gugatan Nurul Ghufron yang sangat mirip dengan ambang batas usia capres-cawapres yang diajukan oleh PSI.

Yakni, terkait batas usia Komisioner KPK usia diturunkan, lalu diberi embel-embel “berpengalaman sebagai pimpinan Lembaga”.

Jangan sampai kata dia pen-dikte-an Putusan MK seperti copy-paste Putusan Nurul Ghufron untuk PSI, yakni “Ambang batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun dengan syarat berpengalaman sebagai pimpinan pemerintahan atau sebagai kepala daerah.

Julius menegaskan Hakim Konstitusi perlu mengingat, bahwa masa jabatan sebagai Hakim terbatas, dan nasibnya pun berubah-ubah tergantung rejim.

"Seperti dua Hakim Konstitusi yang dicokok KPK sampai masuk penjara. Tidak ada jaminan “kebebasan dan keselamatan” Hakim Konstitusi pasca selesai masa jabatan " ujarnya.

Oleh sebab itu lanjut Julius, Hakim Konstitusi harus menjaga nama-nama baik yang melekat sejak berdirinya MK, yakni, Penjaga Konstitusi (the guardian of the constitution), pelindung demokrasi (the protector of democracy), pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen's constitutional rights), pengawal ideologi negara (the guardian of state ideology).

Semua nama-nama baik itu kata Julius akan terwujudkan jika MK tetap berpegang pada konstitusi dan menegaskan ambang batas usia capres-cawapres bukanlah diskriminasi melainkan kualifikasi, dan menolak despotisme kekuasaan eksekutif yang bahkan melebihi rejim otoritarian Orde Baru yang hanya menempatkan Legislatif di bawah kekuasaan politik praktisnya, bukan Yudikatif apalagi Mahkamah Konstitusi.

Komentar Via Facebook :

Berita Terkait